Friday, April 18, 2008

Pendekatan Baru Penafsiran Al Qur’an; Studi Atas Pemikiran Bintu Syati'

Prolog

Tafsir Al Qur’an merupakan ilmu yang sangat penting dalam litelatur dunia Islam. Karena dari sinilah sebuah teks yang tidak bernyawa akan berbicara dan memposisikan dirinya sebagai kitab petunjuk. Pesan yang disampaikan dalam Al Qur’an akan menjadi sebuah hal yang sangat relatif ketika diintepretasikan oleh beberapa corak pemikiran yang berbeda.

Seiiring dengan berkembangnya zaman dan semakin luasnya ilmu yang dikuasai umat Islam, maka hal ini menyebabkan pergeseran metodologi dalam intepretasi Al Qur’an. Para ulama zaman dahulu mengklasifikasikan metode tafsir secara global menjadi 2 macam, yaitu;

1) Tafsir bil ma’tsur (analisa teks Al Qur’an dengan berpedoman pada teks lain, Al Qur’an dan Hadits. Corak metode tafsir seperti ini banyak kita dapatkan dalam tafsir Thabary.

2) Tafsir bi ra’yi (analisa teks dengan berpedoman pada akal). Corak metode ini banyak kita dapati dalam tafsir Al Kasyyâf, Mafâtihul Ghaib, Al Mannâr.

Penggolongan metode tafsir menjadi 2 tersebut saat ini dipandang kurang relevan dan terkesan kaku. Maka dari itu para pakar tafsir kontemporer mencoba mencari alternatif lain yang lebih simpel dan sistematis. Dr. Abdul Jabar Ar Rifa’i, menyebutkan ada 4 teori dalam studi tafsir kontemporer;[3]

a. Tafsir ‘Ilmi (analisa ilmiah terhadap ayat-ayat yang terkandung dalam Al Qur’an dengan menghubungkan dengan fenomena alam yang terjadi). Contoh; Tafsir Jawâhirul Qur’an milik Imam Ghazali, al Burhân Fi Ulûmil Qur’an milik Zarkasyi, dll.

b. Tafsir Madhu’i (analisa sebuah teks dengan menghimpun satu kesatuan tema didalamnya). Contoh; Ad Dustûr Al Qur’ani Fi Syu’ûnil Hayât milik Muhammad ‘Izzat Darwizah, Tafsir Ayat Riba milik Sayyid Qutb, Al Qur’an Wal Mujtama’ milik Mahmud Syaltut,dll.

c. Tafsir Ijtimâi (analisa teks dengan pendekatan sosiologi dan fakta sosial yang terjadi). Contoh; Tahrîr Wa Tanwîr milik Thahir Ibnu ‘Asyur, Tafhîmul Qur’an milik Abu A’la al Maududi

d. Tafsir Adabi (analisa teks dengan mengungkap sisi sastra yang terkandung didalamnya. Metode ini lebih cenderung kepada metode kritis dalam memahami Al Qur’an) Contohnya; Tafsir Bayani Lil Qur’anil Karim milik Aisyah Abdurrahman atau Bintu Syati’

Tafsir Adabi (tafsir sastra) yang barang kali akhir-akhir ini banyak digandrungi oleh banyak orang. Basis metode ini mulai diperkenalkan Amin Khuly, seorang intelektual Mesir dan dosen adab di Universitas Cairo. Sosok inilah yang dikenal kuat mempengaruhi corak penafsiran generasi selanjutnya, seperti Ahmad Khalfallah, Nasr Hamid Abu Zayd, Aisyah Abdurrahman atau Bintu Syati’. Dari ketiga penerus beliau ini, Bintu Syati’-lah yang pemikirannya secara luar dikonsumsi public. Selain berbasis metode analisa teks, Bintu Syati’ dikenal sangat memperhatikan sisi normatif dan tidak terlepas dari sisi ilmiah.

Biografi Bintu Syati’

Bintu Syati’ begitulah litelatur Islam mencatat kebrilianan serta kecerdasan beliau dalam bidang tafsir Al Qur’an dan sastra. Bernama lengkap DR. Aisyah Abdurrahman. Lahir di kota Dimyat Mesir 6 November 1913 M/ 6 Dzulhijjah 1331 H dari pasangan Muhammad Ali Abdurrahman dan Farida Abdussalam Muntasyir. Bintu Syati’ hidup ditengah-tengah keluarga yang agamis, mapan, dan berpendidikan. Syeikh Ibrahim ad Damhuji al Kabir, kakek dari garis keturunan sang ibu merupakan salah satu ulama besar Azhar.

Karir pendidikannya dimulai dari umur 5 tahun. Sejak kecil, Aisyah telah dididik serta dipersiapkan untuk menjadi seorang ulama Islam. Keluarganya selalu menekankan untuk senantiasa memperdalam khazanah pemikiran Islam. Tidak ketinggalan pula hafalan Al Qur’an yang telah menjadi hidangan setiap harinya. Di usianya yang masih sangat belia, Bintu Syati’ telah menyelesaikan hafalan Al Qur’an.

Bintu Syati menyelesaikan pendidikan dasarnya dengan predikat cumlaude. Hal ini yang mendorong ia untuk senantiasa menekuni ilmu-ilmu Islam. Setelah menyelesaikan studi ilmu pendidikan di Madrasah Ta’lîmiyyah Thanta tahun 1928, iapun berinisiatif untuk hijrah ke kota Kairo untuk lebih mencari pengalaman. Di ibu kota Mesir tersebut, seluruh bakat dan kecerdasan Bintu Syati’ mulai ditempa dengan baik. Dengan posisi sebagai seorang penulis sebuah lembaga di Giza, iapun memulai karirnya dengan banyak melayangkan tulisannya ke beberapa media massa terkenal di Mesir. Diantaranya majalah Nahdhah Islamiyyah, Ahram, dll. Dari sinilah mulai mencuat nama besar Bintu Syati’. Konon nama pena (samaran) ini sengaja dipakai dikarenakan takut akan kemarahan ayahnya ketika membaca artikel-artikel yang ditulis.

Kesibukannya dalam dunia tulis menulis bukanlah merupakan penghambat proses studinya. Tahun 1936[4], ia menyelesaikan studi S1 di Universitas Cairo Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab. Kemudian merampungkan program magister di universitas dan jurusan yang sama pada tahun 1941 dengan judul tesis al Hayât al Insâniyyah ‘Inda Abi ‘Ala’. Di universitas tersebut, Bintu Syati’ dipertemukan dengan sang pujaan hati, Amin Khuli, yang kemudian menjadi suaminya. Kemudian dari situlah muncul 3 pemikir kecil Islam. Suaminya yang merupakan pakar ilmu tafsir selain membimbing dalam keluarga, iapun juga banyak memberikan pengaruh terhadap pemikiran Bintu Syati’. Hal ini terlihat dari corak beberapa pemaparan yang disampaikan Bintu Syati’. Tahun 1950 iapun merampungkan studi doktoralnya dengan DR. Thaha Husein sebagai dosen penguji. Dengan judul disertasi Risâlatul Ghufran Li Abil ‘Ala’, Bintu Syati’ meraih predikat cumlaude.

Ilmu-ilmu yang telah diserap di bangku kuliah, kemudian ia sampaikan di beberapa universitas. Selama puluhan tahun Bintu Syati’ abdikan dirinya dalam bidang pendidikan dan studi Al Qur’an.Diantara universitas yang pernah ia ampu; Universitas Qarawiyyin Maroko, Universitas Cairo Mesir, Universitas ‘Ain Syams Mesir, Universitas Umm Durman Sudan. Iapun banyak memberikan kuliah dan ceramah di hadapan para sarjana di Roma, Al Jazair, New Delhi, Bagdad, Kuwait, Yerrusalem, Rabat, Fez, Khartoum, dll.

Bintu Syati’ berkali kali dinobatkan sebagai pakar ilmu Adab oleh beberapa institusi, pemerintah Mesir (1978), pemerintah Kuwait (1988), raja Faishal (1994).

Ide-ide brilian sosok perempuan ini tak ayal menarik perhatian beberapa penerbit dan mass media untuk menerbitkan karya-karya beliau. Tema-tema yang diangkat lebih banyak berkisar tentang sastra, sejarah dan tafsir Al Qur’an. Ia juga menulis tentang isu-isu yang banyak berkembang di dunia, seperti tentang posisi perempuan yang telah mengalami perubahan, perjuangan orang-orang Arab memerangi imperialisme Barat dan Zionisme.[5] Ada sekitar 40 judul buku dalam bidang Dirasah Islamiyyah, Fiqh, Tafsir, Adab, dll yang telah terbit di Mesir dan beberapa negara Arab. Karya-karyanya diantara lain;

1. Tafsir Bayani Lil Qur’anil Karim

2. Al I’jaz al Bayani, Wa Masail Ibnu Arzuk

3. Maqal Fil Insan; Dirasah Qur’aniyyah

4. Al Qur’an Wa Tafsir Ashri

5. Ma’al Musthofa Fi ‘Asril Mab’as

6. Nisa’un Nabi

7. Ardhul Mu’jizat, Rihlatun Fi Jaziratil Arab

8. Risalatul Ghufran

9. Ghufran; Dirasah Naqdiyah

10. Qiyam Jadidah Lil Adab ‘Arabi, Qadim Wal Mu’ashir

11. Lughatuna Wal Hayat

12. Turatsuna Baina Ma’dhin Wa Hadir

13. Khansa’

14. Shahil Wa Syaji’

15. Israiliyyat Wa Ghazwul Fikr

16. Liqa’ Ma’an Târikh

17. ‘Ala Jirs

18. Dll

Pada awal bulan Desember tahun 1998 di usianya yang mencapai 85, Bintu Syati’ menghembuskan nafas terakhirnya. Tulisan terakhir yang sempat diterbitkan oleh koran Ahram berjudul “Ali bin Abi Thalib Karramllahu Wajhah” tanggal 26 Februari 1998. Seluruh karyanya menjadi saksi akan kehebatan beliau. Metode tafsir yang beliau kembangkan dalam bukunya “at Tafsir al Bayani Lil Qur’an al Karim” banyak menjadi rujukan metode penafsiran kontemporer.

Basis Metode Bintu Syati’

Tafsir Bayani ini dengan lengkap memuat seluruh pemikiran serta pemahaman Syati’ dalam ilmu Qur’an. Beberapa konsep tentang terma ilmu Qur’an beliau paparkan dengan sistematis. Tak ayal jika kitab tafsir ini kemudian diterjemahkan ke beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Beliau belum secara lengkap menafsirkan seluruh surat yang ada didalam Al Qur’an, melainkan hanya 14 surat, yaitu; Surat At Takatsur, Balad, Nazi’at, ‘Adiyat, Al Zalzalah, As Syarkh (Insyirah), Dhuha, Al Ma’un, Humazah, Fajr, Lail, ‘Asr, Al Alaq, Qalam.

Dalam menganalisa teks Al Qur’an, Bintu Syati’ banyak dipengaruhi metodologi yang disampaikan sang suami, Amin Khuly. Metode yang diterapkan dalam tafsirnya berbasis pada analisa teks sebagaimana berikut;

1. Memperlakukan apa yang ingin dipahami dalam Al Qur’an seara Objektif, hal ini dengan mengumpulkan seluruh surat dan ayat yang akan dipelajari. Dalam muqaddimah tafsir beliau mengungkapkan tentang metode tanâwul maudhu’i (tematis) sebagai pisau analisanya[6].

2. Untuk memahami konteks pewahyuan, maka ayat-ayat disekitas gagasan tersebut harus disesuaikan dengan kronologi pewahyuan (asbab nuzul).[7] Kemudian sebab-sebab peristiwa tersebut bukanlah merupakan syarat mutlak pewahyuan. Menurut kaidah ushululiyyah; “inna ‘ibrah bi umûmil lafdzi la bikhususi sabab”.

3. Untuk memahami dilalah alfadhz yang disampaikan Al Qur’an, maka diperlukan pemahaman yang mendalam tentang bahasa Arab dengan mencari arti linguistis asli.

4. Dalam pemahaman pernyataan-pernyataan yang sulit, naskah yang ada harus dipelajari kemungkinan maksudnya dengan mengkomparasikan dengan pendapat para ulama[8].

Huruf Muqatta’ah

Tema ini telah menjadi perdebatan panjang sepanjang masa di kalangan ulama tafsir. Pokok permasalahannya adalah perbedaan dalam intepretasi ayat Allah yang berbunyi;

..... وما يعلم تأويله إلا الله والراسخون فى العلم يقولون أمنا به كل من عند ربنا وما يذكر إلا أولو الألباب[9]

Mereka memperdebatkan tentang huruf waw dalam ayat tersebut apakah merupakan huruf ‘athaf (kata penghubung) dengan pengertian;

“Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya (ayat mutasyabihat) kecuali Allah dan para pakar ilmunya”

atau huruf isti’naf atau ibtida’ (huruf pembuka pembicaraan baru) dengan pengertian;

“Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya (ayat mutasyabihat) kecuali hanya Allah. Dan pakar ilmu tersebut berkata”

Dari sinilah muncul 2 kelompok yang berbeda tentang keabsahan menintepretasi ayat-ayat mutasyâbihât. Syeikh Fairuz Abadi dalam kitab tafsirnya Tanwîrul Miqbâs Min Tafsîri Ibni Abbâs mencoba memberikan pentakwilan terhadap huruf-huruf muqatta’ah yang berada di awal beberapa surat. Setiap penggalan dari huruf tersebut memiliki pengertiannya masing-masing yang masih berhubungan dengan tema pembahasa dalam surat tersebut. Sedangkan ulama-ulama salaf semisal Ibnu Abbas, Mujahid, Sya’bi, Ibnu Qayyim Jauziyyah lebih memilih untuk mengembalikan seluruh pemaknaan kepada Allah (ista’tsarallahu bi ‘ilmihi). Syeikh Sya’bi ketika ditanya tentang pengertian huruf muqatta’ah, beliau menjawab; “setiap kitab memilki rahasianya masing-masing, rahasia dari Al Qur’an ini adalah huruf muqatta’ah yang terdapat pada pembuka beberapa surat”[10]

Mengenai huruf muqatta'ah ini, para sarjana barat menggambarkannya sebagai huruf-huruf misterius, meskipun banyak diantara mereka yang berusaha untuk meraba-raba makna yang terkandung. Mereka memandang huruf-huruf tersebut sebagau singkatan dari nama-nama para pengumpul Al Qur’an sebelum Zayd bin Tsabit. Kelompok surat yang diawali dengan “Ha-Mim” diduga berasal dari orang-orang yang singkatan namanya menjadi “Ha-Mim”. Hirschfeld, misalnya mencoba memandang huruf “Sad” sebagai kependekan dari nama Hafsah, "Kaf" sebagai Abu Bakr dan "Mim" sebagai 'Uthman, sedang "Alif-Lam-Mim" kependekan dari nama al-Mughirah. Sedang Eduard Gussens menduga bahwa huruf-huruf tersebut merupakan judul dari surat-surat yang tidak digunakan. Meski demikian pada akhirnya tetaplah huruf-huruf tersebut menjadi misteri. Tidak ada argumen yang cukup valid dari mereka untuk mendukung hipotesa ini.[11]

Ibnu Qayyim Jauziyyah menyebutkan bahwa pemilihan huruf muqatta’ah pada awal beberapa surat tersebut lebih merupakan simbol dari keutamaannya. Huruf tersebut merupakan pondasi utama dari pesan-pesan yang disampaikan Allah dalam surat.[12] Dalam terma pembahasan ini, Bintu Syati lebih setuju dengan pandangan yang disampaikan Ibnu Qayyim. Bahwa huruf muqatta’ah merupakan bagian dari i’jaz bayani Al Qur’an. Ketika Allah melayangkan surat tantangan kepada kaum musyrikin untuk mendatangkan satu surat semisal dengan Al Qur’an, namun mereka tidak sanggup. Padahal Al Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Allah SWT. berfirman;

وان كنتم فى ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله وادعوا شهدائكم إن كنتم صادقين[13]

Sebagaimana kaum musyrikin zaman dahulu menganggap bahwa Al Qur’an merupakan dongeng belaka, sehingga mereka cenderung memilih untuk tidak mendengarkan segala perkataan Al Qur’an, maka dengan munculnya huruf muqatta’ah ini merupakan upaya untuk menarik perhatian mereka untuk lebih jauh mengetahui tentang Al Qur’an.

Anti Sinonimitas

Salah satu temuan penting Bintu Syati’ dalam tafsirnya yaitu tentang sinonim kata-kata yang memiliki pengertian serupa dalam Al Qur’an. Dalam hal ini beliau lebih cenderung untuk menolak adanya sinonimitas. Segala yang disampaikan di dalam Al Qur’an memiliki maksud dan tujuannya masing-masing. Allah SWT. Berfirman;

..... ما فرطنا فى الكتاب من شيئ[14]

Dalam kitab tafsirnya, at Tafsir al Bayani Lil Qur’anil Karim, disebutkan dengan pendekatan metode istiqra’ tentang penggunaan beberapa kata yang mempunyai arti kata yang sama namun berbeda dalam pengertiannya.

1. Kata khalafa dan aqsama[15]

Kata khalafa

Kata aqsama

Wa yahlifuna billahi Innahum laminkum wama hum minkum (QS. Taubah; 34)

La uqsimu bi yaumil qiyamah (QS. Qiyamah;1)

Wa yahlifuna ‘alal kadzibi (QS. Mujadalah; 14)

Fala Uqsimu bila tubsirun (QS. Al Haqah;34)

Wa la tuti’ kulla hallafin muhin

Fala Uqsimu bil Hunnas (QS. At Takwir;

Dari sini beliau berkesimpulan bahwa kata aqsama digunakan untuk jenis sumpah sejati yang tidak pernah untuk dilanggar. Terlihat rata-rata Fa’il dari kata ini lebih banyak kembali kepada Allah. Sedangkan kata khalafa digunakan untuk sumpah yang ada potensi untuk dilanggar

2. Kata na’y dan bu’d. Kata na’y merujuk kepada jarak yang kaitannya dengan permusuhan dan suasana. Sedangkan bu’d lebih kepada jarak dalam konotasi waktu dan tempat.

3. Kata hilm dan ru’ya. Kata hilm merujuk kepada mimpi yang tidak jelas tentang kebenarannya. Sedangkan ru’ya lebih kepada hal yang telah pasti dan jelas.

Pernyataan yang serupa juga disampaikan beberapa ulama adab diantaranya Ibnu Jinni dan Ibnu Faris.

Israiliyyat

Terma ini merupakan problem tersendiri di kalangan beberapa ulama tafsir. Banyak dari mereka yang terjebak menyantumkan argumen-argumen penguat analisa tafsir yang referensinya masih dipertanyakan. Diantaranya israiliyyat (kabar tentang zaman pra-Islam yang disampaikan oleh para ahli kitab). Seiring dengan tuntutan dari umat untuk lebih mengetahui detil peristiwa dalam Al Qur’an.

Dalam usahanya untuk menyingkirkan unsur unsur luar dan asing dalam pemahaman atas Al Qur’an, dalam tafsirnya, Bintu Syati’ menolak untuk terlibat dalam pembahasan-pembahasan mendetil mengenai materi-materi yang berhubungan dengan kitab Injil, Taurat, dan rekaman-rekaman Arab serta non Arab yang bersifat mitis atau historis, jika didalam Al Qur’an terdapat rujukan kepada materi-materi atau rekaman-rekaman tersebut. Ia menyatakan bahwa, jika Al Qur’an memang bermaksud mengungkap sejarah dalam detilnya, kitab suci ini pasti telah melakukannya. Namun Al Qur’an menggunakan materi-materi semacam itu dalam bentuk sebuah ringkasan biasa, yang berarti bahwa apa yang diinginkan untuk diperhatikan adalah teladan-teladan moral yang harus ditelaah dan pelajaran-pelajaran spiritual yang harus diturunkan darinya.[16]

Epilog

Bintu Syati’ merupakan intelektual Islam yang banyak memberikan sumbangsih pikirannya untuk kemajuan ilmu tafsir. Analisa teks yang beliau terapkan dalam tafsirnya, banyak diikuti oleh penafsir-penafsir saat ini. Metode ini lebih relevan dan realistis untuk diterapkan, karena disamping lebih tepat dengan kondisi sosial masyarakat saat ini, juga dapat memahami gagasan dalam Al Qur’an secara utuh (tidak parsial).

Dalam tafsirnya, beliau kerap kali menyebutkan komentar-komentar beberapa ulama zaman dahulu seputar analisa teks mereka, kemudian memberikan koreksi dan pembenaran. Terutama dalam pembahasa diksi dalam Al Qur’an.

Pengkajian dalam Islam terbagi menjadi 3 macam; 1. ilmu yang sudah digarap dan sudah dimasak, yaitu ilmu bahasa dan penetapan hukum, 2. ilmu yang telah dimasak tetapi belum matang, yaitu ilmu hukum dan hadits, 3. ilmu yang belum masak dan belum matang, yaitu retorika dan tafsir. Bintu Syati’ beruntung memilki banyak banyak bumbu masakan untuk digarap.[17]

(M. Fuad Al Amin)

[1] Makalah ini disampaikan dalam paket kajian turast Islam Misykati (Majelis Intensif Studi Yurisprudensi dan Kajian Ilmu Islam), Jum’at, 18 Maret 2008

[2] Mahasiswa Universitas Al Azhar Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Tingkat 3, pengurus Misykati.

[3] Abdul Jabar Rifa’i, ittijahat haditsah fi Tafsir, Selasa, 27 Juni 2006, www.mothaqaf.com

[4] Ada referensi yang menyebutkan Bintu Syati’ lulus program S1 tahun 1939. Lihat www.islamwomenstudies.com.

[5] Al Qur’an Buku Yang Menyesatkan Dan Buku Yang Menyesatkan, hal 387

[6] Lihat Aisyah Abdurrahman, At Tafsir al Bayani Lil Qur’anil Karim Juz 1, Dar Ma’arif Kairo, hal 10

[7] Tema asbâb nuzûl sampai saat ini masih menjadi bahan perbincangan. Banyak kita temukan satu ayat atau surat terdapat asbâb nuzûl yang saling berbeda. Hal ini lebih dikarenakan para sahabat banyak yang mengasosiasikan sebuah ayat atau surat yang berkenaan dengan diri mereka masing-masing merupakan bagian dari sebab turunnya. Maka munculah riwayat yang berbeda-beda tentang asbâb nuzûl. Contoh asbâb nuzûl surat Taubah ayat 113;

ماكان للنبي والذين أمنوا أن يستغفرو للمشركين

Ada beberapa versi tentang sebab turunnya ayat tersebut. Versi 1. Turun wafatnya Abu Thalib, 2. Ketika nabi berziarah ke makam ibunda beliau, Aminah, 3. Ketika ada seorang laki-laki yang memintakan ampun untuk kedua orang tuanya yang meninggal dalam keadaan syirik.

[8] Op. Cit. Aisyah Abdurrahman

[9] Surat Al Baqarah: 7

[10] Op. Cit. Juz 1 Hal 42

[11] Ayat Mutasyabihat dan Kritik Terhadap Peringkatnya, 17 april 2008, www.pesantren.or.id, Lihat W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar al-Qur'an, terj. Lilian D. Tedjasudhana (Jakarta: INIS, 1998), 55-56.

[12] Op. Cit Aisyah Abdurrahman

[13] Surat Al Baqarah: 23

[14] Surat Al An’am : 37

[15] Op. Cit. Aisyah Abdurrahman, juz 1, hal 165-167

[16] Op. Cit. Al Qur’an Buku Yang Mencerahkan dan Buku Yang Menyesatkan, hal 394

[17] Ibid hal. 403

No comments: